- Back to Home »
- Sejarah Etika
Posted by : Agus Saktiyono
Minggu, 19 Mei 2013
1. Etika periode Yunani
Penyelidikan para ahli Filsafat
tidak banyak memperhatikan masalah Etika. Kebanyakan dari mereka melakukan
penyelidikan mengenai alam. Misalnya; bagaimana alam ini terjadi? Apa yang
menjadi unsur utama alam ini? dan lain-lain. Sampai akhirnya datang Sophisticians
ialah orang yang bijaksana yang menjadi guru dan tersebar ke berbagai
negeri.
Socrates dipandang sebagai perintis
Ilmu Akhlak. Karena ia yang pertama berusaha dengan sungguh-sungguh membentuk
perhubungan manusia dengan ilmu pengetahuan. Dia berpendapat akhlak dan bentuk
perhubungan itu, tidak menjadi benar kacuali bila didasarkan ilmu pengetahuan.
(Ahmadamin, 1975: 45)
Faham Antisthenes, yang hidup
pada 444-370 SM. Ajarannya mengatakan ketuhanan itu bersih dari segala
kebutuhan, dan sebaik-baik manusia itu yang berperangai dengan akhlak
ketuhanan. Maka ia mengurangi kebutuhannya sedapat mungkin, rela dengan
sedikit, suka menanggung penderitaan, dan mengabaikannya. Dia menghinakan orang
kaya, menyingkiri segala kelezatan, dan tidak peduli kemiskinan dan cercaan
manusia selama ia berpegangan dengan kebenaran.
Pemimpin aliran ini yang terkenal
adalah Diogenes, wafat pada 323 SM. Dia memberi pelajaran kepada kawan-kawannya
untuk menghilangkan beban yang dilakukan oleh ciptaan manusia dan peranannya.
(H.A. Mustofa, 1999: 42).
Setelah faham Antisthenes
ini, lalu datang Plato (427-347 SM). Ia seorang ahli Filsafat Athena, yang
merupakan murid dari Socrates. Buah pemikirannya dalam Etika berdasarkan ‘teori
contoh’. Dia berpendapat alam lain adalah alam rohani. Di dalam jiwa itu ada
kekuatan bermacam-macam, dan keutamaan itu timbul dari perimbangan dan
tunduknya kepada hukum. (Ahmadamin, 1975: 47).
Pokok-pokok keutamaan itu adalah
Hikmat kebijaksana, keberanian, keperwiraan, dan keadilan. Hal ini merupakan
tiang penegak bangsa-bangsa dan pribadi. Seperti yang kita ketahui bahwa,
kebijaksanaan itu utama untuk para hakim. Keberanian itu untuk tentara, perwira
itu utama untuk rakyat, dan adil itu untuk semua. Pokok-pokok keutamaan itu
memberikan batasan kepada manusia dalam setiap perbuatannya, agar ia melakukan
segala sesuatu dengan sebaik-baiknya.
Kemudian disusul Aristoteles
(394-322 SM), dia adalah muridnya plato. Pengukutnya disebut Peripatetis karena
ia memberi pelajaran sambil berjalan atau di tempat berjalan yang teduh. (H.A.
Mustofa, 1999: 44).
Aristoteles berpendapat bahwa tujuan
akhir dari yang dikehendaki manusia mengenai segala perbuatan adalah bahagia.
Namun pengertiannya tentang konsep bahagia itu lebih luas dan lebih tinggi.
Menurutnya, untuk mendapatkan kebahagiaan, seseorang itu hendaklah
mempergunakan kekuatan akal dengan sebaik-baiknya.
Aristoteles menciptakan teori serba
tengah. Tiap-tiap keutamaan adalah tengah-tengah, di antara dua keburukan.
Misalnya; dermawan adalah pertengahan antara boros dan kikir. Keberanian adalah
pertengahan antara membabi-buta dan takut.
Pada akhir abad ke tiga M,
tersiarlah agama Nasrani di Eropa. Agama tersebut merubah fikiran manusia dan
membawa pokok-poko akhlak tersebut dalam Taurat. Memberi pelajaran kepada
manusia, bahwa Tuhan adalah sumber segala akhlak. Tuhan yang membuat patok yang
harus kita pelihara dalam hubungan kitaa dengan orang lain. Dan Tuhan juga yang
menjelaskan tentang arti baik dan jahat. (Ahmaddamin, 1975).
Baik menurut arti yang sebenarnya
adalah kerelaan Tuhan Allah, dan melaksanakan segala perintahnya. Menurut ahli
Filsafat Yunani, pendorong untuk melakukan perbuatan baik ialah pengetahuan
atau kebijaksanaan. Sedangkan menurut Agama Nasrani, bahwa yang mendorong
perbuatan baik adalah cinta kepada Allah, dan iman kepada-Nya.
2. Etika Abad Pertengahan
Pada abad pertengahan, Etika bisa
dikatakan ‘dianiaya’ oleh Gereja. Pada saat itu, Gereja memerangi Filsafat
Yunani dan Romawi, dan menentang penyiaran ilmu dan kebudayaan kuno.
(H.A.Mustofa, 1999: 45).
Gereja berkeyakinan bahwa kenyataan
hakikat telah diterima dari wahyu. Dan apa yang terkandung dan diajarkan oleh
wahyu adalah benar. Jadi manusia tidak perlu lagi bersusah-susah menyelidiki
tentang kebenaran hakikat, karena semuanya telah diatur oleh Tuhan.
Ahli-ahli Filsafat Etika yang lahir
pada masa itu, adalah paduan dari ajaran Yunani dan ajaran Nasrani. Di antara
mereka yang termasyur adalah Abelard (1079-1142 SM), seorang ahli Filsafat
Prancis. Dan Thomas Aquinas (1226-1270 SM), seorang ahli Filsafat Agama dari
Italia. (Ahmaddamin, 1975).
3. Etika Periode Bangsa Arab
Bangsa Arab pada zaman jahiliah
tidak mempunyai ahli-ahli Filsafat yang mengajak kepada aliran atau faham
tertentu sebagaimana Yunani, seperti Epicurus, Zeno, Plato, dan Aristoteles.
Hal itu terjadi karena penyelidikan
ilmu tidak terjadi kecuali di Negara yang sudah maju. Waktu itu bangsa Arab
hanya memiliki ahli-ahli hikmat dan sebagian ahli syair. Yang memerintahkan
kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran, mendorong menuju keutamaan, dan
menjauhkan diri dari kerendahan yang terkenal pada zaman mereka. (H.A. Mustofa,
1999: 46).
Namun sejak kedatangan Islam, agama
yang mengajak kepada orang-orang untuk percaya kepada Allah, sumber segala
sesuatu di seluruh alam. Allah memberikan jalan kepada manusia jalan yang harus
diseberangi. Allah juga menetapkan keutamaan seperti benar dan adil, yang harus
dilaksanakannya, dan menjadikan kebahagiaan di dunia dan kenikmatan di akhirat,
sebagai pahala bagi orang yang mengikutinya.
Di antara ayat Al-Quran yang berbicara mengenai Etika
adalah:
Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh
(kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan
Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar
kamu dapat mengambil pelajaran. ( QS. An-Nahl: 90)
Jadi Bangsa Arab pada masa itu,
telah puas mengambil etika dari agama dan tidak merasa butuh untuk menyelidiki
mengenai dasar baik dan buruk. Oleh karena itu, agama banyak menjadi dasar
buku-buku yang di lukiskan dalam etika. Seperti buku karya Al-Ghazali dan
Al-Mawardi.
Yang termasyur melakukan
penyelidikan tentang akhlak dengan berdasarkan ilmu pengetahuan adalah Abu Nasr
Al-Farabi, yang meninggal pada tahun 339 H. demikian juga Ikhwanus Sofa, di
dalam risalah brosurnya, dan Abu ‘Ali ibnu Sina (370-428 H). mereka telah
mempelajarai Filsafat Yunani, terutama pendapat mengenai akhlak. (Ahmaddamin,
1975).
Penyelidik Bangsa Arab yang terbesar
mengenai Etika adalah Ibnu Maskawayh, yang wafat pada 421 H. dia mencampurkan
ajaran Plato, Aristoteles, Galinus dengan jaran Islam. Ajara Aristoteles banyak
termasuk dalam kitabnya, terutama dalam penyelidikan tentang jiwa. (Ahmad
Mahmud Shubhi, 1992: 17).
4. Etika Periode Abad Modern
Pada akhir abad lima belas, Eropa
mulai bangkit. Ahli pengetahuan mulai menyuburkan Filsafat Yunani Kuno. Begitu
juga dengan Italia, lalu berkembang ke seluruh Eropa.
Pada masa ini, segala sesuatu
dikecam dan diselidiki, sehingga tegaklah kemerdekaan berfikir. Dan mulai
melihat segala sesuatu dengan pandangan baru, dan mempertimbangkannya dengan
ukuran yang baru.
Discartes, seorang ahli Filsafat
Prancis (1596-1650), termasuk pendiri Filsafat baru. Untuk ilmu pengetahuan, ia
menetapkan dasar-dasar sebagai berikut:
1. Tidak menerima sesuatu yang belum
diperiksa akal dan nyata adanya. Dan apa yang tumbuhnya dari adat kabiasaan
saja, wajib ditolak.
2. Di dalam penyelidikan harus kita
mulai dari yang sekecil-kecilnya, lalu meningkat ke hal-hal yang lebih besar.
3. Jangan menetapkan sesuatu hukum akan
kebenaran suatu hal sehingga menyatakan dengan ujian. (H.A. Mustofa, 1999:
51)..
Namun di antara ahli-ahli ilmu pengetahuan
bangsa Jerman yang merupakan pengaruh besar dalam akhlak ialah Spinoza
(1770-1831), Hegel (1770-1831) juga Kant (1724-1831).